Ka'bah

Kiblat adalah kata dalam bahasa Arab yang merujuk arah yang dituju saat seorang Muslim mendirikan salat. Selain arah salat, kiblat juga merupakan arah kepala hewan yang disembelih. Kiblat juga arah kepala jenazah yang dimakamkan. Kiblat yang diyakini umat Islam saat ini adalah Ka'bah yang berada di kota Mekah, setelah sebelumnya pernah menghadap ke Baitul Maqdis di Yerusalem.

Ka'bah terletak di tengah Masjidil Haram. Masjidil Haram (المسجد الحرام) adalah sebuah masjid di kota Mekah, yang dipandang sebagai tempat tersuci bagi umat Islam. Perluasan Masjidil Haram dimulai pada tahun 638 sewaktu khalifah Umar bin Khattab, dengan membeli rumah-rumah di sekeliling Ka'bah dan diruntuhkan untuk tujuan perluasan, dan kemudian dilanjutkan lagi pada masa khalifah Usman bin Affan sekitar tahun 647 M.

Menurut hadits shahih, satu kali salat di Masjidil Haram sama dengan 100.000 kali salat di masjid-masjid lain, kecuali Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha. Satu kali salat di Masjid Nabawi sama dengan 1.000 kali salat di masjid-masjid lain, kecuali Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha. Adapun satu kali salat di Masjidil Aqsha sama dengan 250 kali salat di masjid-masjid lain, kecuali Masjidil Haram dan Masjid Nabawi..

Seluruh umat islam diperintah untuk memalingkan wajahnya/hatinya kearah masjidil haram dimanapun berada, hal ini di perkuat dengan surah al-baqarah ayat 149 dan 150. perintah ini hampir sama derajatnya dengan perintah Allah yang lain seperti hal melakukan sholat, zakat, puasa, haji sebagai wujud hati yang terikat dan ingat kepada Allah dalam segala hal duniawi ini.

Ka’bah atau nama lainnya Bakkah awalnya dibangun oleh Adam dan kemudian anak Adam, Syist, melanjutkannya. Saat terjadi banjir Nabi Nuh, Ka’bah ikut musnah dan Allah memerintahkan Nabi Ibrahim membangun kembali. Nabi Ibrahim bersama dengan anaknya, Nabi Ismail. Nabi Ismail yang meninggikan dasar - dasar Ka'bah, dan sekaligus membangun masjid di sekitar Ka'bah tersebut. Ka'bah kurang lebih terletak di tengah masjidil Haram: tingginya mencapai lima belas hasta; bentuknya kubus batu besar. Al-Hafiz Imaduddin Ibnu Katsir mencatat riwayat itu berasal dari ahli kitab (Bani Israil), bukan dari Nabi Muhammad.

Ka’bah yang dibangun Ibrahim pernah rusak pada masa kekuasaan Kabilah Amaliq. Ka’bah dibangun kembali sesuai rancangan yang dibuat Ibrahim tanpa ada penambahan ataupun pengurangan. Saat dikuasai Kabilah Jurhum, Ka’bah juga mengalami kerusakan dan dibangun kembali dengan meninggikan fondasi. Pintu dibuat berdaun dua dan dikunci.

Di masa Qusai bin Kilab, Hajar Aswad sempat hilang diambil oleh anak-anak Mudhar bin Nizar dan ditanam di sebuah bukit. Qusai adalah orang pertama dari bangsa Quraisy yang mengelola Ka’bah selepas Nabi Ibrahim. Di masa Qusai ini, tinggi Ka’bah ditambah menjadi 25 hasta dan diberi atap. Setelah Hajar Aswad ditemukan, kemudian disimpan oleh Qusai, hingga masa Ka’bah dikuasai oleh Quraisy pada masa Nabi Muhammad.

Dari masa Nabi Ibrahim hingga ke bangsa Quraisy terhitung ada 2.645 tahun. Pada masa Quraisy, ada perempuan yang membakar kemenyan untuk mengharumkan Ka’bah. Kiswah Ka’bah pun terbakar karenanya sehingga juga merusak bangunan Ka’bah. Kemudian, terjadi pula banjir yang juga menambah kerusakan Ka’bah. Peristiwa kebakaran ini yang diduga membuat warna Hajar Aswad yang semula putih permukaannya menjadi hitam.

Untuk membangun kembali Ka’bah, bangsa Quraisy membeli kayu bekas kapal yang terdampar di pelabuhan Jeddah, kapal milik bangsa Rum. Kayu kapal itu kemudian digunakan untuk atap Ka’bah dan tiga pilar Ka’bah. Pilar Ka’bah dari kayu kapal ini tercatat dipakai hingga 65 H. Potongan pilarnya tersimpan juga di museum.

Empat puluh sembilan tahun sepeninggal Nabi (yang wafat pada 632 Masehi atau tahun 11 Hijriah), Ka’bah juga terbakar. Kejadiannya saat tentara dari Syam menyerbu Makkah pada 681 Masehi, yaitu di masa penguasa Abdullah bin Az-Zubair, cucu Abu Bakar, yang berarti juga keponakan Aisyah.

Untuk membangun kembali, seperti masa-masa sebelumnya, Ka’bah diruntuhkan terlebih dulu. Abdullah AzZubair membangun Ka’bah dengan dua pintu. Satu pintu dekat Hajar Aswad, satu pintu lagi dekat sudut Rukun Yamani, lurus dengan pintu dekat Hajar Aswad. Abdullah bin Az-Zubair memasang pecahan Hajar Aswad itu dengan diberi penahan perak. Yang terpasang sekarang adalah delapan pecahan kecil Hajar Aswad bercampur dengan bahan lilin, kasturi, dan ambar. Jumlah pecahan Hajar Aswad diperkirakan mencapai 50 butir.

Pada 693 Masehi, Hajjaj bin Yusuf Ath-Taqafi berkirim surat ke Khalifah Abdul Malik bin Marwan (khalifah kelima dari Bani Umayyah yang mulai menjadi khalifah pada 692 Masehi), memberitahukan bahwa Abdullah bin Az-Zubair membuat dua pintu untuk Ka’bah dan memasukkan Hijir Ismail ke dalam bangunan Ka’bah.

Hajjaj ingin mengembalikan Ka’bah seperti di masa Quraisy; satu pintu dan Hijir Ismail berada di luar bangunan Ka’bah. Maka, oleh Hajjaj, pintu kedua–yang berada di sebelah barat dekat Rukun Yamani–ditutup kembali dan Hijir Ismail dikembalikan seperti semula, yakni berada di luar bangunan Ka’bah.

Akan tetapi, Khalifah Abdul Malik belakangan menyesal setelah mengetahui Ka’bah di masa Abdullah bin AzZubair dibangun berdasarkan hadis riwayat Aisyah. Di masa berikutnya, Khalifah Harun Al-Rasyid hendak mengembalikan bangunan Ka’bah serupa dengan yang dibangun Abdullah bin Az-Zubair karena sesuai dengan keinginan Nabi.

Namun, Imam Malik menasihatinya agar tidak menjadikan Ka’bah sebagai bangunan yang selalu diubah sesuai kehendak setiap pemimpin. Jika itu terjadi, menurut Imam Malik, akan hilang kehebatannya di hati kaum Mukmin.

Pada 1630 Masehi, Ka’bah rusak akibat diterjang banjir. Sultan Murad Khan IV membangun kembali, sesuai bangunan Hajjaj bin Yusuf hingga bertahan 400 tahun lamanya pada masa pemerintahan Sultan Abdul Abdul Aziz. Sultan inilah yang memulai proyek pertama pelebaran Masjidil Haram.

Ada satu peristiwa penting yang berkaitan dengan Ka'bah. Pada peristiwa Penaklukan Mekkah (bahasa Arab: فتح مكة, Fathu Makkah). Setelah memasuki kota Mekah, Bilal mantan budak yang teguh di atas keimanan diperintahkan oleh Rasulullah SAW naik ke atas Ka'bah dan mengumandangkan adzan. Suara adzan menggema ke seluruh penjuru kota, memasuki setiap relung hati manusia dan rumah. Peristiwa ini menunjukkan bahwa Ka'bah memang kiblat umat Islam tetapi ka'bah bukanlah perantara kepada siapapun, dan ka'bah bukanlah berhala seperti anggapan non-muslim yang fanatik dan hanya ingin mencela. Ka'bah menjadi penyatu umat Islam dalam beribadah kepada Allah di manapun kita berada tanpa memandang status sosial, ras, ataupun negara.

Dalam 1000 tahun terakhir, sejumlah matematikawan dan astronom Muslim seperti Biruni telah melakukan perhitungan yang tepat untuk menentukan arah kiblat dari berbagai tempat di dunia. Seluruhnya setuju bahwa setiap tahun ada dua hari dimana matahari berada tepat di atas Ka'bah, dan arah bayangan matahari dimanapun di dunia pasti mengarah ke Kiblat. Peristiwa tersebut terjadi setiap tanggal 28 Mei pukul 9.18 GMT (16.18 WIB) dan 16 Juli jam 9.27 GMT (16.27 WIB) untuk tahun biasa. Sedang kalau tahun kabisat, tanggal tersebut dimajukan satu hari, dengan jam yang sama.

Tentu saja pada waktu tersebut hanya separuh dari bumi yang mendapat sinar matahari. Selain itu terdapat 2 hari lain dimana matahari tepat di "balik" Ka'bah (antipoda), dimana bayangan matahari pada waktu tersebut juga mengarah ke Ka'bah. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 28 November 21.09 GMT (4.09 WIB) dan 16 Januari jam 21.29 GMT (4.29 WIB).

Pada ka’bah kita sering melihat adanya Kiswah (kain/selimut hitam penutup ka’bah). Tujuan dari pemasangan kain itu adalah untuk melindungi dinding ka’bah dari kotoran, debu, serta panas yang dapat membuatnya menjadi rusak. Selain itu kiswah juga berfungsi sebagai hiasan ka’bah. Kain ini biasanya diganti setiap tahun pada tanggal 9 Dzulhijjah, hari ketika jamaah haji berjalan ke Bukit Arafah pada musim Haji. Nama kiswah dalam bahasa Arab berarti 'selubung' (kain yang dikenakan pada peti) dan seasal dengan kata kisui dalam bahasa Ibrani.

Menurut sejarah, Kabah sudah diberi kiswah sejak zaman Nabi Ismail AS, putra Nabi Ibrahim AS. Namun tidak ada catatan yang mengisahkan kiswah pada zaman Nabi Ismail terbuat dari apa dan berwarna apa. Baru pada masa kepemimpinan Raja Himyar Asad Abu Bakr dari Yaman, disebutkan kiswah yang melindungi Ka’bah terbuat dari kain tenun.

Setiap tahun, kiswah lama diangkat, dipotong-potong menjadi beberapa bagian kecil dan dihadiahkan kepada beberapa orang, pejabat Muslim asing yang berkunjung dan organisasi asing. Beberapa di antara mereka turut bertukar suvenir Haji. Pembuat kiswah yang terkenal di masa Jahiliah adalah ad-Dibaj Natilah binti Hibban, ibu dari Abbas bin Abdul Muthalib. Pada masa-masa sebelumnya Umar bin Khattab memotong-motongnya dan membagi-bagikannya kepada para jamaah yang hendak menggunakannya sebagai pelindung dari panasnya suhu kota Makkah.

Kita sudah membahas cukup banyak tentang Ka'bah. Mari kita membahas lebih rinci lagi tentang perubahan arah kiblat! :)

Pada awalnya, nabi Muhammad lebih suka menghadap ke arah Ka'bah. Karena itu, beliau sering salat di antara dua sudut Ka'bah sehingga Beliau bisa menghadap keduanya. Tapi, setelah hijrah ke madinah hal tersebut tidak mungkin dilakukan lagi. Kemudian, Beliau sering menengadahkan kepalanya ke langit menanti wahyu turun agar Ka'bah dijadikan kiblat shalat. Allah pun mengabulkan keinginannya dengan menurunkan surah Al-Baqarah ayat 144 :

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan (Maksudnya ialah Nabi Muhammad SAW sering melihat ke langit mendoa dan menunggu-nunggu turunnya wahyu yang memerintahkan dia menghadap ke Baitullah).

Perubahan arah kiblat juga diceritakan dalam suatu hadits riwayat Imam Bukhari :

Dari al-Bara bin Azib, bahwasanya Nabi SAW pertama tiba di Madinah dia turun di rumah kakek-kakek atau paman-paman dari Anshar. Dan bahwasanya dia salat menghadap Baitul Maqdis enam belas atau tujuh belas bulan. Dan dia senang kiblatnya dijadikan menghadap Baitullah. Dan salat pertama dia dengan menghadap Baitullah adalah salat Ashar dimana orang-orang turut salat (bermakmum) bersama dia. Seusai salat, seorang lelaki yang ikut salat bersama dia pergi kemudian melewati orang-orang di suatu masjid sedang ruku. Lantas dia berkata: "Aku bersaksi kepada Allah, sungguh aku telah salat bersama Rasulullah SAW dengan menghadap Makkah." Merekapun dalam keadaan demikian (ruku) mengubah kiblat menghadap Baitullah. Dan orang-orang Yahudi dan Ahli Kitab senang dia salat menghadap Baitul Maqdis. Setelah dia memalingkan wajahnya ke Baitullah, mereka mengingkari hal itu. Sesungguhnya sementara orang meninggal dan terbunuh sebelum berpindahnya kiblat, sehingga kami tidak tahu apa yang akan kami katakan tentang mereka. Kemudian Allah yang Maha Tinggi menurunkan ayat "dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu" (al-Baqarah, 2:143).

Ada sebuah masjid yang menjadi bukti perubahan arah kiblat yaitu Masjid Qiblat'ain yang letaknya di madinah. Masjid ini mula-mula dikenal dengan nama Masjid Bani Salamah, karena masjid ini dibangun di atas bekas rumah Bani Salamah. Letaknya di tepi jalan menuju kampus Universitas Madinah di dekat Istana Raja ke jurusan Wadi Aqiq atau di atas sebuah bukit kecil di utara Harrah Wabrah, Madinah.

Peristiwa turunnya wahyu kepada Rasulullah SAW untuk memindahkan kiblat ke arah Masjidil Haram atau lebih tepatnya Ka'bah, terjadi pada tahun ke-2 Hijriyah hari Senin bulan Rajab waktu dhuhur di Masjid Bani Salamah ini.

Ketika itu Rasulullah SAW tengah salat dengan menghadap ke arah Masjidil Aqsha. Saat itu Nabi sedang salat dengan menghadap ke arah Masjidil Aqsha. Salat sudah berjalan dua rakaat. Di tengah salat, tiba-tiba turunlah wahyu surat Al Baqarah ayat 144. Setelah turunnya ayat tersebut di atas, beliau menghentikan sementara salatnya, kemudian meneruskannya dengan memindahkan arah kiblat  menghadap ke Masjidil Haram. Merujuk pada peristiwa tersebut, lalu masjid ini dinamakan Masjid Qiblatain, yang artinya masjid berkiblat dua. Dengan turunnya ayat tersebut, kiblat diganti menjadi mengarah ke Ka'bah di Mekkah.

Masjid Qiblatain telah mengalami beberapa kali pemugaran. Pada 1987 Pemerintah Kerajaan Arab Saudi di bawah Raja Fahd melakukan perluasan, renovasi dan pembangunan konstruksi baru, namun tidak menghilangkan ciri khas masjid tersebut. Sebelumnya Sultan Sulaiman telah memugarnya pada tahun 893 H atau 1543 M.

Dua kiblat? Ya, masjid ini memang sempat memiliki dua arah mihrab yang menonjol, yakni mengarah ke Masjidil Haram di Mekah dan Masjidil Aqsha di Palestina yang umumnya digunakan imam salat. Namun masjid kemudian direnovasi dengan hanya memfokuskan satu mihrab yang menghadap Ka’bah di Mekah dan meminimalisir mihrab yang menghadap ke Yerusalem, Palestina.

Ruang mihrab masjid ini mengadopsi geometri ortogonal kaku dan simetri yang ditekankan dengan menggunakan menara kembar dan kubah kembar. Kubah utama menunjukkan arah kiblat yang benar dan kubah kedua merupakan arah palsu. Kubah palsu ini hanya dijadikan sebagai pengingat sejarah saja.

Ada beberapa non muslim yang salah paham tentang Ka'bah dan ibadah Haji dan Kaitannya dengan Arab Saudi. Mereka beranggapan bahwa Ka'bah ada kaitannya upaya arab Saudi menambah devisanya. Hal tersebut salah besar, karena Kerajaan Arab Saudi atau Saudi Arabia (Al-Mamlakah Al-'Arabiyah Al-Sa'udiyah) baru diproklamasikan pendiriannya pada tanggal 23 September 1932 oleh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Sa'ud dengan menyatukan wilayah Riyadh, Najd (Nejed), Ha-a, Asir dan Hijaz. Abdul Aziz kemudian menjadi raja pertama pada kerajaan tersebut. Dengan demikian dapat dipahami, nama Saudi berasal dari kata nama keluarga Raja Abdul Aziz Al-Sa'ud.

Orang-orang Arab pada zaman jahiliyah telah mengenal ibadah haji ini yang mereka warisi dari nenek moyang terdahulu dengan melakukan perubahan disana-sini. Akan tetapi, bentuk umum pelaksanaannya masih tetap ada, seperti thawaf, sa'i, wukuf, dan melontar jumrah. Hanya saja pelaksanaannya banyak yang tidak sesuai lagi dengan syariat yang sebenarnya. Untuk itu, Islam datang dan memperbaiki segi-segi yang salah dan tetap menjalankan apa-apa yang telah sesuai dengan petunjuk syara' (syariat), sebagaimana yang diatur dalam al-Qur'an dan sunnah rasul. Latar belakang ibadah haji ini juga didasarkan pada ibadah serupa yang dilaksanakan oleh nabi-nabi dalam agama Islam, terutama nabi Ibrahim. Ritual thawaf didasarkan pada ibadah serupa yang dilaksanakan oleh umat-umat sebelum nabi Ibrahim. Ritual sa'i, yakni berlari antara bukit Shafa dan Marwah (daerah agak tinggi di sekitar Ka'bah yang sudah menjadi satu kesatuan Masjid Al Haram, Makkah), juga didasarkan untuk mengenang ritual istri kedua nabi Ibrahim (Siti Hajar) ketika mencari susu untuk anaknya nabi Ismail. Sementara wukuf di Arafah adalah ritual untuk mengenang tempat bertemunya nabi Adam dan Siti Hawa di muka bumi, yaitu asal mula dari kelahiran seluruh umat manusia.

Ada berbagai macam ibadah haji. Setiap jamaah bebas untuk memilih jenis ibadah haji yang ingin dilaksanakannya. Rasulullah memberi kebebasan dalam hal itu, sebagaimana terlihat dalam hadis berikut.

Aisyah berkata: Kami berangkat beribadah bersama rasulullah dalam tahun hajjatul wada. Di antara kami ada yang berihram, untuk haji dan umrah dan ada pula yang berihram untuk haji. Orang yang berihram untuk umrah ber-tahallul ketika telah berada di Baitullah. Sedang orang  yang berihram untuk haji jika ia mengumpulkan haji dan umrah. Maka ia tidak melakukan tahallul sampai dengan selesai dari nahar. ( HR. Ahmad, al-Bukhari, Muslim dan Malik dari 'Aisyah.)

Berikut adalah jenis dan pengertian haji yang dimaksud.

Haji ifrad, berarti menyendiri. Pelaksanaan ibadah haji disebut ifrad bila sesorang bermaksud menyendirikan, baik menyendirikan haji maupun menyendirikan umrah. Dalam hal ini, yang didahulukan adalah ibadah haji. Artinya, ketika mengenakan pakaian ihram di miqat-nya, orang tersebut berniat melaksanakan ibadah haji dahulu. Apabila ibadah haji sudah selesai, maka orang tersebut mengenakan ihram kembali untuk melaksanakan umrah.
Haji tamattu', mempunyai arti bersenang-senang atau bersantai-santai dengan melakukan umrah terlebih dahulu di bulan-bulah haji, lain bertahallul. Kemudian mengenakan pakaian ihram lagi untuk melaksanakan ibadah haji, pada tahun yang sama. Tamattu' dapat juga berarti melaksanakan ibadah di dalam bulan-bulan serta di dalam tahun yang sama, tanpa terlebih dahulu pulang ke negeri asal.
Haji qiran, mengandung arti menggabungkan, menyatukan atau menyekaliguskan. Yang dimaksud disini adalah menyatukan atau menyekaliguskan berihram untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah. Haji qiran dilakukan dengan tetap berpakaian ihram sejak miqat makani dan melaksanakan semua rukun dan wajib haji sampai selesai, meskipun mungkin akan memakan waktu lama. Menurut Abu Hanifah, melaksanakan haji qiran, berarti melakukan dua thawaf dan dua sa'i.
Semoga, setelah membaca ini anda paham bahwa kiblat adalah adalah Arah tapi bukan arah yang mutlak untuk beribadah. Ka'bah maupun Hajar Aswad bukan perantara kita saat kita beribadah kepada Allah, karena Allah tidak butuh perantara dalam bentuk benda. Kiblat seharusnya menyatukan umat Islam karena umat Islam menghadap ke kiblat / arah yang sama saat shalat. Intinya, Kita menghadap kiblat kita yaitu ka'bah karena begitulah cara shalat nabi. Kita sudah seharusnya menjadikan nabi tuntunan dalam hal cara beribadah. Dalam Hadis dan Qur'an, kita diperintahkan untuk shalat seperti cara nabi shalat.

“Solatlah kamu seperti kamu melihat aku solat”. [H.R. Bukhari]

 “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling daripada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintahnya)” (QS. Al Anfaal : 20)

“Kemudian jika kamu berlainan penda-pat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemu-dian.” (QS. An Nisaa' : 59).

Saat kita tidak mengetahui arah kiblat, maka kita boleh menghadap ke arah kemanapun. Karena, semua arah adalah milik Allah, dan Allah mengetahui ke manapun kita menghadap. Tapi saat kita tahu arah kiblat, kita di wajibkan menghadap ke kiblat / arah yang tepat sesuai cara nabi shalat.

Al Baqarah : 115. Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. 

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Ibnu Umar membacakan ayat ini (S. 2: 115) kemudian menjelaskan peristiwanya sebagai berikut. Ketika Rasulullah SAW dalam perjalanan dari Mekah ke Madinah shalat sunnat di atas kendaraan menghadap sesuai dengan arah tujuan kendaraannya. 
(Diriwayatkan oleh Muslim, Tirmidzi dan Nasa'i yang bersumber dari Ibnu Umar.) 

Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa turunnya ayat faainama tuwallu ... sampai dengan akhir ayat (S. 2: 115) membolehkan kita shalat sunnat di atas kendaraan menghadap sesuai dengan arah tujuan kendaraan.
(Diriwayatkan oleh al-Hakim yang bersumber dari Ibnu Umar. Hadits ini shahih menurut riwayat Muslim, terutama isnadnya. Catatan: Sebagian ulama menganggap bahwa riwayat tersebut cukup kuat, walaupun sebab turunnya itu tidak jelas, yaitu dengan kata-kata "Turunnya ayat tersebut dalam masalah anu." Kedudukan kalimat seperti ini, kadang-kadang dianggap sebagai turunnya ayat) 

Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ketika Rasullah SAW hijrah ke Madinah, diperintahkan oleh Allah SWT untuk menghadap ke Baitul Maqdis di waktu shalat. Maka gembiralah kaum Yahudi. Rasulullah SAW melaksanakan perintah itu beberapa belas bulan lamanya, tetapi dalam hatinya tetap ingin menghadap ke qiblatnya Nabi Ibrahim AS (Mekkah). Beliau selalu berdoa kepada Allah sambil menghadapkan muka ke langit; menantikan turunnya wahyu. Maka turunlah ayat "qad nara taqalluba wajhika fis-sama-i sampai akhir ayat." (S. 2: 144). Kaum Yahudi menjadi bimbang karena turunnya ayat itu (S. 2. 144), sehingga mereka berkata: "Apa yang menyebabkan mereka membelok dari qiblat yang mereka hadapi selama ini?" Maka Allah menurunkan ayat ini (S. 2: 115) sebagai jawaban atas pertanyaan orang-orang Yahudi.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dari 'Ali bin Abi Thalhah yang bersumber dari Ibnu Abbas. Isnadnya kuat, dan artinya pun membantu menguatkannya, sehingga dapat dijadikan dasar turunnya ayat tersebut.)
Berikutnya
« Prev Post
Sebelumnya
Next Post »